![]() |
Protes penebangan pohon di kampus UIN Bandung pada tahun 2011. Dok. Pribadi |
Pada suatu sore, 12 tahun yang lalu seseorang melontarkan gagasan agar LPIK ikut meramaikan meriahnya suasana Musema (Musyawarah Senat Mahasiswa). Gagasan itu terlontar dari salah seorang anak LPIK yang sedang nongkrong di Sekre. Dengan cara, konvoi menggunakan tiga motor dari sekre menuju kampus, lalu membakar “hit bakar”tepat di depan Gedung rektorat, sambil bernyanyi-nyanyi mengitari hit yang terbakar.
Jarak
antara Sekre Lpik dengan kampus sekitar 300 meter, maka konvoi menggunakan
sepeda motor jadi pilihan menarik buat kami pada waktu itu. Di samping itu, tak
lengkap rasanya konvoi bila tak mengibar-ngibarkan sehelai bendera yang sudah
sejak lama teronggok di dinding sekre LPIK. Bendera itu akan menjadi masalah
besar beberapa jam kemudian, untuk orang banyak tapi sepele bagi kami.
Kami
terpaksa harus bersekre di luar areal kampus karena UIN pada waktu itu sedang
giat-giatnya berhutang kepada Islamic Development Bank, yang uangnya dipakai
untuk merombak secara ugal-ugalan bangunan kampus. Pohon-pohon besar di areal
kampus sebagian besar ditumbangkan, untuk kepentingan pembangunan ulang kampus,
diganti dengan pohon palm, mungkin agar terlihat kearab-araban.
Di UIN,
Arab diasosiasikan dengan Islam. Akibatnya, UIN jadi gersang, tidak seadem
sebelumnya. Akibat lainnya, secara perlahan dan konsisten pasca pembangunan
ulang kampus biaya kuliah terus naik dari tahun ke tahun dan makin melambung
tinggi. Itu masalahnya, sebelumnya jika pun naik, tidak semelambung itu.
Sialnya,
organisasi mahasiswa ekstra kampus yang ada, yang punya cukup keleluasaan untuk
mengakses sumber daya yang dibutuhkan agar situasi jadi agak mendingan, seperti
tidak melakukan apa-apa. Padahal dengan keleluasan macam itu, di dalamnya
terkandung tanggung jawab sosial yang besar untuk menyuarakan kepentingan warga
kampus, terutama kepentingan mahasiswa .
Asumsi dasarnya: pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, jika Pendidikan di UIN makin mahal saja, bisa dipastikan tidak setiap warga negara bisa memperoleh haknya.
Lingkungan yang nyaman, segar, hijau, lestari juga ialah hak dasar
warga negara. Jika pohon-pohon besar yang daunnya rindang hilang diganti gedung
baru yang kearab-araban mana mungkin kualitas udara semakin bagus.
Sebut saja organisasi mahasiswa ekstra kampus itu adalah HMI dan PMII. Pada saat itu mereka malah sibuk bersitegang alias gontok-gontokan memperebutkan kursi kekuasaan di dewan mahasiswa dan senat mahasiswa untuk kepentingan kelompok mereka masing-masing.
Kepentingan warga kampus agaknya tidak menjadi prioritas
bagi mereka, bukankah itu lelucon? Bagi kami waktu itu, itu benar-benar lucu!
Mereka hampir bentrok fisik di ruang Musema dan di halaman depan kampus UIN.
Karena masing-masing dari mereka mengerahkan anggota sebanyak-banyaknya.
Celakanya, kami menyukai lelucon karena lelucon itu menghibur. Seorang kawan di Lembaga Pers Mahasiswa SUAKA saking kreatifnya sampai memplesetkan kepanjangan dari akronim HMI dan PMII, yang masih saya ingat adalah akronim PMII yakni Palang Merah Indonesia Indah.
Sehari setelah dua plesetan itu dikumandangakan lewat status facebook, kawan saya itu didatangi sekelompok orang dari salah satu organisasi di atas, tapi tidak sampai berkepanjangan karena kawan saya warlok alias warga lokal.
Kembali ke
Musema, beberapa polisi terlihat berjaga di samping mobil patroli yang mereka
bawa. Suasana saat itu terlihat biasa saja namun terasa tegang. Ada yang
jongkok sambil merokok, ada yang berdiri sambil menyilangkan tangannya, ada
yang hanya memperhatikan kami datang.
Halaman
kampus pada saat itu ramai dikunjungi mahasiswa. Mereka terlihat seperti sedang
bersiap untuk bentrok fisik. Menurut informasi yang kami terima, massa yang ada
di halaman kampus adalah massa dari PMII. Sedangkan massa yang memenuhi Gedung Rektorat,
tempat di mana sidang Musema diselenggarakan, adalah massa dari kubu HMI.
Dan kami datang melalui gerbang depan menggunakan tiga motor, sambal bernyanyi serta mengibar-ngibarkan bendera berwarna merah, putih, biru, dengan gambar satu bintang.
Suasana yang biasa namun tegang itu, seketika pecah. Terutama Ketika seorang
kawan mengeluarkan satu sachet hit bakar. Disimpan perlahan di lantai depan Gedung
rektorat, kemudian dibakar, setelah itu kami berdiri mengitarinya sambil bernyanyi-nyanyi.
***
Suasana macam itu tidak terlihat pada saat saya dan kawan-kawan dari LPIK, Aqfil dan Jurnalistik mulai diprovokasi oleh BQ untuk memprotes penebangan mayoritas pohon besar yang ada di areal kampus.
Provokasi itu dilancarkan di DPR. DPR
adalah akronim dari di Bawah Pohon Rindang, letaknya berada di antara gedung
Fakultas Tarbiyah dengan Fakultas Adab dan Humaniora. Di situlah pohon beringin
besar dengan daunnya yang rindang bercokol. Konon katanya pohon itu sudah
ditanam sejak era kolonial Belanda berkuasa.
Tempat ini jadi tempat nongkrong pavorit bagi saya dan kawan-kawan LPIK, Aqfil (Aqidah Filsafat) dan Jurnalistik. Di sini kami diskusi santai berbagai teori juga issue-issue kampus.
Tak jarang BQ, sebutan akrab dari dosen filsafat bernama lengkap Bambang Qomaruzzaman melancarkan provokasinya secara bertubi-tubi, kepada kami di sini. Tak jarang pula, kami mendidih dibuatnya.
Bak gayung
bersambut, kami yang waktu itu secara biologis sedang
revolusioner-revolusionernya, menerima provokasi darinya. Terbakarlah sudah kami
pada saat itu. Jika kata-kata BQ yang provokatif itu adalah bensinnya, maka kamilah
api yang sedang menyala itu.
Tindakan kami setelahnya, khususnya saya dan teman-teman dari jurusan Jurnalistik, ialah melangsungkan demonstrasi di kampus, atas nama Komunitas Mahasiswa Ekologi. Saat demonstrasi dilangsungkan, tak ada HMI atau PMII di dalamnya, hanya kami, Komunitas Mahasiswa Ekologi.
Jumlah kami pada waktu itu tidak lebih dari 30 orang. Dari sekian ribu mahasiswa yang terdaftar di kampus UIN, hanya kami yang memprotes masalah ini secara kolektif, kepada pejabat kampus di depan rektorat .
Mahapeka juga sebenarnya, tapi mereka memilih berdemonstrasi ke Gedung DPRD Kota Bandung. Saya juga anggota Mahapeka, tapi tidak sepakat dengan tindakan organisasi karena kampus secara regulasi memiliki otonominya sendiri, anggota DPRD tidak berhak mencamuri urusan kampus. Dan benar saja, apa yang dilakukan Mahapeka salah alamat.
Pada saat kami berdemonstrasi tak ada kemeriahan, jumlah kami sedikit, tak ada polisi yang berjaga-jaga didampingi mobil patroli, dan tak ada aura tegang yang mengemuka ke udara. Berbeda dengan suasana pada saat Musema. Secara kolektif, kami berbeda dalam segala aspek dengan mereka, terutama dalam politik.
Politik
kami, politik alternatif, yakni kepentingan politik yang tidak popular pada
saat itu. Mengenai hak-hak dasar mahasiswa
diantaranya hak mendapat lingkungan nyaman, hijau, lestari. Wajar saja jika kami diabaikan, selain jumlah
kami sedikit, issue yang kami angkat pun tidak popular.
Setidak popular
itu apa yang kami lakukan, pun pada saat Musema. Sepulang dari konvoi dan membakar
“hit bakar” di depan rektorat, bendera kami di sita polisi. Polisi mengira
bendera yang kami bawa adalah bendera West Papua, padahal bendera negara Cuba.
0 Komentar