Senjakala Pertambangan Karst Rajamandala

Penetapan beberapa titik kawasan Karst sebagai kawasan lindung geologi menyisakan beberapa masalah. Diantaranya terkait kesejahteraan masyarakatnya. Kita tahu, masyarakat kawasan karst mayoritas berprofesi di industri tambang batu kapur. Alhasil penetapan beberapa titik kawasan karst sebagai kawasan lindung geologi berkonsekuensi pada hilangnya mata pencaharian kelompok masyarakat yang selama ini bekerja di industri tambang.

Pertambangan itu sendiri telah hadir sejak tahun 1970-an di kawasan karst Rajamandala. Kawasan Karst Rajamandala membentang dari kabupaten Bandung Barat sampai ke kabupaten Cianjur. Ada sekitar 10 ribu pekerja tambang di kawasan karst Rajamandala menurut data yang dirilis oleh KSPSI sektor kimia, energi dan pertambangan. Sebagiannya bekerja di kawasan yang kini ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi.

 

Bersamaan dengan itu, mata pencaharian yang bisa menjadi alternatif dari mata pencaharian tambang sudah tidak populer di masyarakat kawasan karst Rajamandala, yakni bertani. Meskipun sebelum pertambangan masuk ke kawasan karst Rajamandala, bertani adalah mata pencaharian utama masyarakatnya. Namun kini mata pencaharian itu sudah tidak populer, ini dikarenakan massifnya pendirian perusahaan tambang batu kapur. Hal ini terjadi karena mudahnya beroleh izin dari pemerintahan setempat. Izin tambang pada waktu itu bisa diperoleh cukup dari kecamatan. Belum lagi di tahun 90-an teknik pertambangan batu kapur makin dipermudah dengan masuknya teknologi modern untuk menambang. Itu adalah beberapa faktor yang membuat perusahaan tambang begitu massif beroperasi di kawasan karst Rajamandala dan bertumbuh bak jamur di musim penghujan. Hal ini menjadi faktor utama pendorong berbondong-bondongnya masyarakat di kawasan karst Rajamandala beralih profesi dari bertani menjadi buruh tambang.

 

Seiring berjalannya waktu ada desakan dari beberapa pihak yang menginginkan dihentikannya pertambangan yang massif dan sporadis di kawasan karst Rajamandala. Pada tahun 2010, alhasil, pemerintah melalui Gubernur mengintruksikan moratorium atau penghentian sementara operasi tambang di kawasan karst Rajamandala untuk dikaji ulang. Tidak berhenti sampai di situ, pada tahun 2015 kepolisian RI melakukan sidak besar-besaran ke kawasan karst Rajamandala, hasilnya adalah penindakan terhadap perusahaan-perusahaan tambang ilegal yang beroperasi. Dan masih banyak lagi tindakan yang mendorong senjakala pertambangan batu kapur di kawasan karst Rajamandala.

 

Yang penting dicatat dari semua itu adalah lahirnya regulasi yang menetapkan beberapa titik di kawasan karst Rajamandala sebagai kawasan lindung geologi. Diantaranya ditetapkannya karst yang ada di kampung Cipaneguh, desa Ciptaharja, kecamatan Cipatat sebagai Kawasan Bentang Alam Karst atau disingkat KBAK dan ditetapkannya pasir Pawon, Goa Pawon, tebing Hawu, tebing Pabeasan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi, ke empat tempat ini terletak di desa gunung Cipatat dan desa Padalarang. Itu artinya, wilayah-wilayah yang masuk kategori KBAK dan KCAG terlarang untuk ditambang. Memang tidak ada data berapa banyak orang yang kehilangan mata pencahariannya dari ditetapkannya beberapa tempat di atas sebagai kawasan lindung geologi, namun suara-suara sumbang yang keluar dari serikat pekerja tambang yang tidak menghendaki dihentikannya operasi tambang patut dijawab. Diantaranya dengan jalan menggalakan mata pencaharian pertanian lagi dan pariwisata.

 

Jika melihat data yang dirilis oleh pemerintah KBB, sektor pariwisata menyumbang PAD lebih besar daripada sektor tambang. Pada tahun 2020 disparbud KBB mengungkapkan bahwasannya sektor pariwisata menyumbang PAD 28 milyar pertahun (turun 50 % dibanding tahun sebelumnya; tahun 2019 PAD dari sektor pariwisata sebesar 48 milyar), lebih besar daripada sektor tambang yang hanya menyumbang 5 milyar pertahun (data tahun 2018). Itu artinya, sektor pariwisata bisa jadi potensi mendulang uang di kawasn karst Rajamandala. Juga kita tahu, sektor ini dikenal sebagai sektor yang memerlukan pelibatan banyak orang/padat karya. Maka, jika sektor ini berkembang berpotensi menyerap banyak sekali tenaga kerja. Efek lainnya dari berkembangnya industri pariwisata adalah berkembangnya indutri kreatif, UMKM tidak menutup kemungkinan akan bertumbuh bak jamur di musim penghujan jika sektor pariwisata maju.

 

Adapun mengenai pertanian, potensi alam di kawasan Karst yang secara alami berfungsi sebagai tempat penyimpanan air cocok sekali dengan profesi bertani, karena itu artinya pertanian di kawasan karst tidak perlu terlalu mengandalkan air hujan. Selanjutnya yang mesti dipikirkan adalah bagaimana merumuskan tata kelola pertanian, khususnya bagiamana memanfaatkan potensi yang ada untuk diabdikan pada majunya pertanian di kawasan karst. Potensi lainnya adalah, hasil riset yang dirilis oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung yang menyatakan bahwa ada jenis ubi khas yang cocok ditanam di kawasan karst. Seperti Ubi Cilembu yang pemasarannya bisa sampai ke luar negeri, tidak menutup kemungkinan jika ubi khas karst ini juga bisa menapaki jalan yang ditempun Ubi Cilembu. Demikian kiranya, hilangnya mata pencaharian masyarakat kawasan karst bisa dijawab dengan digalakannya lagi profesi bertani dan pariwisata, karena dua profesi ini mengandung keutamaan-keutamaan yang telah disebut di atas.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar