![]() |
Gunawan Wiradi (sebelah kiri), saat menyampaikan materi yang diberi judul Reforma Agraria dalam Konteks Transisi Agraria, bertempat di ARC (Agrarian Resources Center), 29 November 2017. Dok. Pribadi |
- Catatan Singkat dari Pemaparan Gunawan Wiradi tentang
Transisi Agraria:
Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa terminologi yang
mesti jernih pengertiannya terlebih dahulu. Terminologi itu diantaranya,
reforma, transisi, transformasi, dan
agraria.
Karena, di medan wacana kerap terjadi pengeliruan term
tersebut. Misalnya, tidak sedikit orang yang mengelirukan term reforma dengan
term reformasi/reformism. Padahal, jika dirunut ke akar pengertian kata,
reforma berasal dari bahasa Spanyol yang arti katanya adalah perubahan atau
secara konsep merujuk pada pembongkaran semua nilai, termasuk nilai-nilai dasar
dari tata sosial yang ada. Implikasinya adalah pembaruan struktur, tidak hanya
sekadar pembaruan fungsi.
Sedangkan reformasi/reformism berasal dari bahasa Inggris
yang arti katanya adalah menyusun ulang atau secara konsep hanya bertitik tekan
pada perubahan fungsi, nihil perubahan struktur sehingga pada hakikatnya
bertujuan mempertahankan status quo, tetapi dengan kedok pembaruan.
Kemudian term transformasi, transformasi adalah berubahnya
satu bentuk ke bentuk lain. Satu bentuk yang telah mengalami perubahan disebut
transformasi, sedangkan proses perubahannya itu sendiri disebut transisi.
Kemudian agraria, term“agraria” mengacu kepada hal-hal yang
terkait dengan tanah atau kepemilikan tanah khususnya hak-hak penguasaan dan
hak-hak pengelolaan.
Kata “agraria”, berasal dari bahasa latin “aeger” yang
bermakna wilayah tanah pertanian, atau sepetak tanah yang di dalamnya terdapat
tanaman, binatang, air, mineral dan pemukiman.
Namun dalam pengertian hukum Indonesia, term agraria
mempunyai pengertian yang sangat luas tidak hanya sekedar mengacu pada tanah,
lebih dari itu, meliputi berbagai aspek, mengacu pada semua sumber daya alam,
meliputi tanah, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Namun, term agraria dalam pembahasan di sini dibatasi hanya
pada soal tanah, penguasaan dan pemanfaatannya.
Dari pengertian reforma dan agraria yang sudah diterangkan
di atas maka reforma agraria tidaklah semata-mata menyusun ulang kepemilikan
dan penguasaan terhadap tanah atau tidaklah semata-mata redistribusi tanah
seperti yang selama ini dipersepsi oleh banyak orang.
Lebih dari itu, reforma agraria haruslah ditandai dengan
kepastian penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi
petani (penggarap), tata guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumber
daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan
produktivitas yang membuat keluarga petani mampu melakukan re-investasi dan
memiliki daya beli yang tinggi.
Jadi, reforma agraria adalah transformasi kehidupan dalam
seluruh aspeknya, dengan focus meningkatkan kemakmuran melalui pemerataan, dan
distribusi kuasa-kuasa ekonomi-sosial-politik, sehingga dicapai apa yang
dinamakan pembaruan struktur sekaligus fungsi di segala aspeknya (transformasi).
Maka tak heran jika reforma agraria bertopang pada premis
pokok berikut ini: Pertama, keadilan sosial, bahwasannya struktur
penguasaan tanah yang timpang adalah pangkal dari ketidakadilan yang melahirkan
penindasan dan kemiskinan.
Kedua, politik, bahwasannya demokrasi tidak
berkembang dalam masyarakat dengan struktur penguasaan tanah yang timpang.
Terakhir,ekonomi, bahwasannya ketimpangan penguasaan tanah menyebabkan
rendahnya produktivitas ketika banyak tanah yang ditelantarkan oleh tuan tanah
karena hanya dijadikan objek spekulasi atau rente.
Namun pada praktiknya, reforma agraria tak jarang menihilkan
aspek komitmen untuk keadilan sosial, demokratisasi dan peningkatan
produktivitas. Hal itu terjadi karena faktanya penerapan reforma agraria di
mana pun adalah medan pertarungan antara berbagai macam kepentingan
ekonomi-politik.
Tak jarang reforma agraria dalam konteks transisi agraria
menuju formasi sosial paska feodalisme ini dimanfaatkan untuk kepentingan
politik tertentu, terlepas dari premis-premis pokok di atas sebagai
landasannya.
Kenyataan ini mendorong diinisiasinya pelaksanaan reforma
agraria dari bawah. Maksudnya, masyarakat tani itu sendiri yang mendesak negara
untuk melaksanakan reforma agraria (landreform from below).
Sebabnya karena itu tadi, reforma agraria yang diinisiasi
negara kerap tidak sesuai dengan ekspektasi dari subjek yang mau disasar oleh
premis-premis pokok yang menjadi landasan reforma agraria. Singkatnya, reforma
agraria dari atas (landreform from above) seringkali bermasalah karena
menihilkan aspek komitmen untuk keadilan sosial, demokratisasi dan peningkatan
produktivitas.
Adapun dalam konteks transformasi agraria, reforma agraria
adalah sebuah program politik yang
sistematis untuk mempercepat proses transisi agraria. Oleh karena itu, reforma
agraria bukanlah program yang dilakukan terus menerus, melainkan program
sistematik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai perubahan yang
diinginkan.
Program ini hadir hanya untuk mempercepat proses transisi
agraria. Ketika transisi agraria selesai, di titik itulah dikatakan telah
terjadi transformasi agraria, ditandai dengan terbentuknya susunan hubungan
sosial ekonomi baru.
Transisi agraria sendiri dimulai dengan dua proses pokok
yaitu reforma agraria dan industrialisasi. Namun, Reforma agraria harus
dilakukan mendahului industrialisasi sebagai prasyarat transformasi agraria.
Di Indonesia, walaupun industrialisasi sudah terjadi, tetapi
reforma agraria belum tuntas dijalankan atau bahkan belum betul-betul
dijalankan. Oleh sebab itu, di Indonesia belum bisa dikatakan telah benar-benar
memasuki transisi agraria.
Dari pengalaman nyata yang pernah terjadi dalam sejarah di
berbagai negara, dapat diidentifikasi adanya lebih dari satu macam jalan, jalur
atau model (baik yang berlangsung secara alamiah, maupun yang diusahakan
melalui perencanaan nega-ra), yang memungkinkan terjadinya transformasi
agraria.
Diantaranya, Reforma agraria jalur kapitalistik, neo-populis
dan sosialis-komunis. Dan dari semua negara yang sudah selesai transisi
agrarianya atau sedang memasuki transisi agraria, tak ada satu pun negara yang
layak dijadikan rujukan model reforma agraria untuk Indonesia, sekalipun
Indonesia berniat mengambil model reforma agraria jalan kapitalistik.
Karena alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu industrialisasi yang terjadi di Indonesia tidak didahului dengan penuntasan agenda reforma agraria.
Apa yang dimaksud dengan reforma agraria jalan kapitalistik,
neo populis, dan sosialis-komunis? Pertama, reforma agraria jalan
kapitalistik terjadi melalui pengembangan sistem usaha tani kapitalistik, yaitu
melalui pengembangan satuan-satuan produksi berskala besar yang mungkin akan
menelan hampir semua sektor pertanian kecil (sesuai dengan logika kapital).
Kedua, reforma agraria jalan neo populis yaitu
melalui pengembangan usaha tani skala kecil yang padat modal (John Harriss,
1982: 16-17;37). Ketiga, reforma agraria jalan sosialistik yaitu melalui
pembentukan usaha tani koperatif berskala besar yang diprakarsai pemerintah;
atau melalui usa-ha tani kolektif; atau melalui usaha tani negara.
Tiga jalur itu mencakup gambaran proses-proses transformasi yang nyata telah terjadi dalam sejarah, maupun yang sedang diusahakan oleh pemerintah negara-negara tertentu, ataupun yang sedang digarap menjadi teori-teori normatif mengenai bagaimana masyarakat harus diubah. Artinya, ada negara-negara yang transisi agrarianya dianggap telah selesai. Ada yang masih dalam proses, dan ada yang baru mulai mengusahakan secara sadar melalui jalur tertentu. Lalu, Indonesia?
Referensi:
-) B. White dan G. Wiradi-Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif
0 Komentar